Selasa, 20 Oktober 2015

Teori Konspirasi dan Asal Mula Penyebaran HIV AIDS

 

Teori Konspirasi dan Asal Mula Penyebaran HIV AIDS

Penyakit Virus HIV AIDS yang menewaskan banyak orang dan belum ditemukan obatnya itu terdengar sangat mengerikan. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).


Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor.
Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. Bermacam-macam teori dikemukakan asal mula dari HIV AIDS ini, entah mana yang benar. Apa sajakah teorinya tersebut? mari kita simak bersama.


Seks Bebas di Kinshasa 1920-an

simian immunodeficiency virus (SIVcpz)

Untuk menguak misteri tersebut, tim internasional mencoba untuk merekonstruksi genetika HIV. Untuk mencari tahu di mana nenek moyang tertuanya pada manusia berasal. Temuan dalam bidang arkeologi virus digunakan untuk menemukan asal pandemi. Demikian laporan tim dalam jurnal Science. Para ahli menggunakan arsip sampel kode genetik HIV untuk melacak sumbernya.

Dan ternyata, asal usul pandemi terlacak dari tahun 1920-an di Kota Kinshasa yang kini menjadi bagian dari Republik Demokratik Kongo. Laporan mereka menyebut, perdagangan seks yang merajalela, pertumbuhan populasi yang cepat, dan jarum tak steril yang digunakan di klinik-klinik diduga menyebarkan virus tersebut. Menciptakan kondisi 'badai yang sempurna'.

Sementara itu, rel kereta yang dibangun dengan dukungan Belgia di mana 1 juta orang melintasi kota tiap tahunnya membawa virus HIV ke wilayah sekitarnya. Lalu ke dunia. Tim ilmuwan dari University of Oxford dan University of Leuven, Belgia mencoba merekonstruksi 'pohon keluarga' HIV dan menemukan asal muasal nenek moyang virus itu. 
"Anda bisa melihat jejak sejarahnya dalam genom saat ini data yang terekam, tanda mutasi dalam genom HIV tidak bisa dihapus," kata Profesor Oliver Pybus dari University of Oxford.

Dengan membaca tanda mutasi tersebut, tim bisa menyusun kembali pohon keluarga dan melacak akarnya. HIV adalah versi mutasi dari virus simpanse, yang dikenal sebagai simian immunodeficiency virus (SIVcpz) yang mungkin melakukan lompatan spesies, ke manusia, melalui kontak dengan darah yang terinfeksi. 
Virus ini menyebar pertama kali pada para pemburu simpanse mungkin ketika menangani daging hewan itu. Kasus pertama dilaporkan di Kinshasa, Republik Demokratik Kongo, pada 1930.

Virus membuat lompatan pada beberapa kesempatan. Salah satunya mengarah pada HIV-1 subtipe O yang menyebar di Kamerun. Kemudian, HIV-1 subtipe M yang menginfeksi jutaan orang di seluruh dunia. 
Pada tahun 1920-an, Kinshasa yang dulu disebut Leopoldville hingga 1966 adalah bagian dari Kongo yang dikuasai Belgia. "Kota itu sangat besar dan sangat cepat pertumbuhannya. Catatan medis era kolonial menunjukkan tingginya insiden sejumlah penyakit seksual," kata Profesor Oliver Pybus.

Kala itu, buruh-buruh pria mengalir ke kota, memicu ketudakseimbangan gender, dengan perbandingan pria dan wanita 2:1 yang memicu maraknya perdagangan seksual. Plus faktor praktik pengobatan penyakit dengan suntikan tak steril yang efektif menyebarkan virus. 
"Aspek menarik lainnya adalah jaringan transportasi yang membuat orang-orang berpindah dengan mudah." Sekitar 1 juta orang menggunakan jaringan rel Kinshasa pada akhir tahun 1940-an."

Dan virus pun menyebar luas, awalnya ke kota tetangga Brazzaville, lalu meluas ke area provinsi yang perekonomiannya ditopang penambangan, Katanga. Kondisi 'badai sempurna', hanya berlangsung selama beberapa dekade di Kinshasa. Namun saat itu berakhir, HIV terlanjur menyebar ke seluruh dunia.



Teori Green Monkey

ilustrasi teory green monkey

Tidak sedikit orang yang sudah mendengar teori bahwa AIDS adalah ciptaan manusia. Menurut The New York Times yang terbit 29 Oktober 1990, tiga puluh persen penduduk kulit hitam di New York City benar-benar percaya bahwa AIDS adalah "Senjata etnis" yang didesain di dalam laboratorium untuk menginfeksi dan membunuh kalangan kulit hitam. 
Sebagian orang bahkan menganggap teori konspirasi AIDS lebih bisa dipercaya dibandingkan teori monyet hijau Afrika yang dilontarkan para pakar AIDS. Sebenarnya sejak tahun 1988 para peneliti telah membuktikan bahwa teori monyet hijau tidaklah benar. Namun kebanyakan edukator AIDS terus menyampaikan teori ini kepada publik hingga sekarang. 
Dalam liputan-liputan media tahun 1999, teori monyet hijau telah digantikan dengan teori simpanse di luar Afrika. Simpanse yang dikatakan merupakan asal-usul penyakit AIDS ini telah diterima sepenuhnya oleh komunitas ilmiah.



Teori Konspirasi AIDS


Pada dasarnya teori konspirasi memberikan narasi tentang sejarah bangsa barat mengenai asal usul kemunculan HIV/AIDS. Teori ini menyebutkan bahwa HIV/AIDS merupakan senjata biologis yang sengaja dibuat oleh Amerika Serikat untuk mengendalikan jumlah penduduk dunia. 

"Pengurangan populasi merupakan prioritas tertinggi dari kebijakan luar negeri AS terhadap negara-negara dunia ketiga. Pengurangan dari penduduk negara-negara ini merupakan masalah vital bagi keamanan nasional AS" - Henry Kissinger, 1974 (Gray, 2009 : 106).

Asal usul HIV/AIDS diawali dari bocornya catatan rahasia yang mengandung dua poin penting milik salah satu tim khusus di Laboratorium Fort Detrick AS, Willace L. Pannier ke dunia maya (Ridaysmara, 2010 : 381-384).

Pertama, HIV merupakan istilah baru bagi virus lama bernama SV40 yang digunakan oleh Dokter Hilary Koprowski untuk menginfeksi sistem imun 300.000 orang negro Afrika pada tahun 1957 hingga 1960 (Gray, 2009 : .96-102).

Koprowski melakukan 'percobaan' infeksi vaksin polio melalui mulut (live oral polio vaccine) kepada ras kulit hitam di Afrika atas dasar rasisme. Namun demikian, Koprowski menolak tuduhan bahwa ia terlibat dalam menciptakan AIDS dan mengatakan bahwa demografi dari persebaran penyakit di Afrika dapat dijelaskan dengan faktor-faktor lain yang tidak berhubungan dengan prosedur vaksinasi (Gray, 2009 : 97).

Kedua, disebutkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan ini digagas oleh George W. Bush, George H.W Bush, Prescott Bush, Rockefeller, Harriman dan berbagai elit politik Amerika yang difasilitasi oleh CIA, Rockefeller Foundation dan National Institute of Health (In Lies We Trust 2007).

Mereka sepakat untuk menjalankan agenda 'Eugenic Movement' sekitar tahun 1900-an. 'Eugenic Movement' merupakan gerakan rasialis untuk menghancurkan ras manusia yang dianggap inferior dan meningkatkan ras manusia superior. 
Selain itu, HIV/AIDS dibuat oleh CIA untuk menginfeksi bangsa African-American yang berada di Amerika (TIME, 2013). Pada dasarnya, 'Eugenic Movement' dilakukan oleh Amerika untuk menekan jumlah populasi dunia dengan sasaran utama orang-orang berkulit hitam.

Selain informasi yang didapatkan dari catatan rahasia milik Pannier, munculnya berbagai persepsi masyarakat dunia tentang vaksin HIV/AIDS menjadikan teori konspirasi semakin kompleks. Hingga saat ini belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan penyakit HIV/AIDS. 
Obat-obat yang kini diberikan hanya bersifat memperpanjang usia penderita dan memperbesar kemungkinan untuk menularkan penyakit tersebut kepada individu lain, seperti Terapi Antiretroviral (ARV). 
Persepsi tersebut mendorong pemikiran kritis tentang strategi kelompok elit dalam menciptakan penyakit beserta obatnya. Fakta yang mengejutkan muncul dari ketiga penjahat kemanusiaan, yaitu keluarga Bush, Rockefeller dan Harriman yang ternyata bergabung dalam satu komunitas dan berkuliah di Yale University. 
Kemudian faktanya, Yale University adalah pemegang hak paten dari salah satu obat utama HIV yang dikenal dengan 'Zenit' atau 'd4t' pada awal tahun 1990-an dengan royalti yang diterima sebesar $328.000.000,00 (Arno, 1992 : 102). 
Namun, seperti yang diketahui bahwa 'Zenit' tidak menghilangkan HIV, tetapi hanya memperpanjang usia sang penderita yang otomatis dapat terus meningkatkan keuntungan perusahaan.


Eksperimen Hepatitis B Pra-AIDS kepada Pria Gay (1978-1981)


Ribuan pria gay mendaftar sebagai manusia percobaan untuk eksperimen vaksin hepatitis B yang "disponsori pemerintah AS" di New York, Los Angeles, dan San Fransisco. Setelah beberapa tahun, kota-kota tersebut menjadi pusat sindrom defisiensi kekebalan terkait gay, yang belakangan dikenal dengan AIDS. 
Di awal 1970-an, vaksin hepatitis B dikembangkan di dalam tubuh simpanse. Sekarang hewan ini dipercaya sebagai asal-usul berevolusinya HIV. Banyak orang masih merasa takut mendapat vaksin hepatitis B lantaran asalnya yang terkait dengan pria gay dan AIDS. Para dokter senior masih bisa ingat bahwa eksperimen vaksin hepatitis awalnya dibuat dari kumpulan serum darah para homoseksual yang terinfeksi hepatitis.

Kemungkinan besar HIV 'masuk' ke dalam tubuh pria gay selama uji coba vaksin ini. Ketika itu, ribuan homoseksual diinjeksi di New York pada awal 1978 dan di kota-kota pesisir barat sekitar tahun 1980-1981.

Apakah jenis virus yang terkontaminasi dalam program vaksin ini yang menyebabkan AIDS? Bagaimana dengan program WHO di Afrika? Bukti kuat menunjukkan bahwa AIDS berkembang tak lama setelah program vaksin ini. AIDS merebak pertama kali di kalangan gay New York City pada tahun 1979, beberapa bulan setelah eksperimen dimulai di Manhattan. 
Ada fakta yang cukup mengejutkan dan secara statistik sangat signifikan, bahwa 20% pria gay yang menjadi sukarelawan eksperimen hepatitis B di New York diketahui mengidap HIV positif pada tahun 1980 (setahun sebelum AIDS menjadi penyakit 'resmi'). 
Ini menunjukkan bahwa pria Manhattan memiliki kejadian HIV tertinggi dibandingkan tempat lainnya di dunia, termasuk Afrika, yang dianggap sebagai tempat kelahiran HIV dan AIDS. Fakta lain yang juga menghebohkan adalah bahwa kasus AIDS di Afrika yang dapat dibuktikan baru muncul setelah tahun 1982. 
Sejumlah peneliti yakin bahwa eksperimen vaksin inilah yang berfungsi sebagai saluran tempat 'berjangkitnya' HIV ke populasi gay di Amerika. Namun hingga sekarang para ilmuwan AIDS mengecilkan koneksi apapun antara AIDS dengan vaksin tersebut.

Umum diketahui bahwa di Afrika, AIDS berjangkit pada orang heteroseksual, sementara di Amerika Serikat AIDS hanya berjangkit pada kalangan pria gay. Meskipun pada awalnya diberitahukan kepada publik bahwa 'tak seorang pun kebal AIDS', faktanya hingga sekarang ini (20 tahun setelah kasus pertama AIDS), 80% kasus AIDS baru di Amerika Serikat berjangkit pada pria gay, pecandu narkotika, dan pasangan seksual mereka. 
Mengapa demikian? Tentunya HIV tidak mendiskriminasi preferensi seksual atau ras tertentu. Apakah benar demikian?



Keserupaan dengan FLU Burung


Di pertengahan tahun 1990-an, para ahli biologi berhasil mengidentifikasi setidaknya 8 subtipe (strain) HIV yang menginfeksi berbagai orang di seluruh dunia. Telah terbukti, strain B adalah strain pra dominan yang menginfeksi gay di AS. Strain HIV ini lebih cenderung menginfeksi jaringan rektum, itu sebabnya para gay yang cenderung menderita AIDS dibandingkan non-gay

Sebaliknya, Strain HIV yang umum dijumpai di Afrika cenderung menginfeksi vagina dan sel serviks (leher rahim), sebagaimana kulup penis pria. Itu sebabnya, di Afrika, HIV cenderung berjangkit pada kalangan heteroseksual.

Para pakar AIDS telah memeberitahukan bahwa AIDS Amerika berasal dari Afrika, padahal Strain HIV yang umum dijumpai di kalangan pria gay nyaris tak pernah terlihat di Afrika! Bagaimana bisa demikian? Apakah sebagian Strain HIV direkayasa agar mudah beradaptasi ke sel yang cenderung menginfeksi kelamin gay?

Telah diketahui, pria ilmuwan SCVP (Special Virus Cancer Program) mampu mengadaptasi retrovirus tertentu agar menginfeksi jenis sel tertentu. Tak kurang sejak tahun 1970, para ilmuwan perang biologis telah belajar mendesain agen-agen (khususnya virus) tertentu yang bisa menginfeksi dan menyerang sel kelompok rasial 'tertentu'.
Setidaknya tahun 1997, Stephen O’Brien dan Michael Dean dari Laboratorium Keanekaragaman Genom di National Cancer Institute menunjukkan bahwa satu dari sepuluh orang kulit putih memiliki gen resisten-AIDS, sementara orang kulit hitam Afrika tidak memiliki gen semacam itu sama sekali. Kelihatannya, AIDS semakin merupakan 'virus buatan manusia yang menyerang ras tertentu' dibandingkan peristiwa alamiah.

Berkat bantuan media Amerika, virus ini menyebar ke jutaan orang tertentu di seluruh dunia sebelum segelintir orang mulai waspada akan kejahatan di balik penciptaan virus ini. Di tahun 1981, pejabat kesehatan memastikan 'masyarakat umum' bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan. 'AIDS adalah penyakit gay' adalah jargon yang sering dikumandangkan media.

Setidaknya tahun 1987, Robert Gallo memberitahu reporter Playboy, David Black, "Saya pribadi belum pernah menemukan satu kasus pun (di Amerika) dimana pria terkena virus (AIDS) dari seorang wanita melalui hubungan intim heteroseksual ." 
Gallo melanjutkan, "AIDS tak akan menjadi bahaya yang tak bisa teratasi bagi masyarakat umum." Apakah ini sekedar spekulasi ataukah Gallo mengetahui sesuatu yang tidak ia ceritakan?

Senin, 19 Oktober 2015

Anak Agung Bagus Sutedja, Korban Kebiadaban Politik Orde Baru

Anak Agung Bagus Sutedja, Korban Kebiadaban Politik Orde Baru


Anak Agung Bagus Putra raja terakhir Jembrana ini dikenal sebagai pendukung setia Bung Karno . Sejak tahun 1950, beliau diangkat sebagai pimpinan daerah Bali ketika daerah itu masih menjadi bagian dari Provinsi Sunda Kecil. Saat itulah ia sering menemani Bung Karno ketika sang proklamator berkunjung ke IstanaTampaksiring bersama keluarganya.
Kesetiaannya pada ‘sang putra fajar’ itulah yang membuatnya  memperoleh amanat untuk mengemban jabatan Gubernur  Provinsi Bali, ketika Bali menjadi Provinsi otonom yang terpisah dari Sunda Kecil di tahun 1958. Karena andil Bung Karno pula lah Bali bisa menjelma menjadi sebuah Provinsi. Disamping itu, Bung Karno juga turut berjasa dalam mengesahkan agama Hindu yang dianut mayoritas warga Bali sebagai agama yang diakui oleh negara.
Tak heran hingga kini Provinsi Bali dikenal sebagai basis kaum Soekarnois. Dan Anak Agung Bagus  Sutedja-lah yang pertama kali diberikan amanat oleh Bung Karno memimpin Bali. Namun, loyalitasnya pada Bung Karno itu juga yang mengantarkannya pada sebuah tragedi, yang tetap diselubungi kabut misteri hingga kini.
Pemimpin Muda
Sutedja mengawali karir dalam birokrasi pemerintahan Bali dikala daerah tersebut sedang mengalami transisi  sistem politik dari era aristokrasi-kerajaan menuju integrasi dengan  Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)  pasca proklamasi dan revolusi  kemerdekaan. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS) Bali selaku lembaga legislatif  terbentuk di awal tahun 1950-an. DPRDS ini menggantikan  dewan  Paruman Agung yang merepresentasikan  persekutuan delapan kerajaan di Bali.
Sementara di ranah eksekutif, sebuah lembaga Pemerintahan Daerah dibentuk untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan di daerah Bali sebagai bagian dari Provinsi Sunda Kecil.  Pada saat itulah Bung Karno menunjuk Sutedja  yang ketika itu sedang meniti karir sebagai pegawai negeri sipil dengan usia relatif muda (27 tahun) sebagai pimpinan lembaga eksekutif di Bali.
Sejak 1958, Bali memperoleh status provinsi otonom. Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR) Daerah Tingkat I (Dati I) Bali dibentuk sebagai lembaga representasi rakyat tingkat provinsi. Pemilihan gubernur  pun diselenggarakan oleh DPR-GR Bali guna memilih kepala daerah Bali yang telah menjelma menjadi Provinsi.  Namun, ajang pemilihan gubernur inilah yang menjadi awal dari pertikaian politik berkepanjangan di Bali antara dua kubu yang sebenarnya sama-sama berafiliasi pada partainya Bung Karno, Partai Nasional Indonesia (PNI).
Kedua kubu itu adalah I Nyoman Mantik dan Anak Agung Bagus Sutedja. Pilihan Bung Karno sendiri tetap jatuh pada Sutedja, dikarenakan faktor kedekatan politik dan kemampuan Sutedja menjalankan tugas pemerintahan yang sesuai dengan kebijakan pemerintahan pusat  selama Sutedja menjadi kepala daerah Bali sepanjang tahun 1950-an. Pada tahun 1959, Presiden Soekarno melantik Anak Agung Bagus Sutedja sebagai Gubernur Bali.
Perseteruan politik antar dua kubu terjadi baik di internal PNI maupun dalam konstelasi politik Bali. Kebijakan politik Sutedja  sejatinya menginginkan persatuan semua kekuatan politik di Bali dengan tidak memihak pada satupun partai politik (termasuk PNI) serta menjaga ‘keseimbangan’ diantara seluruh elemen. Dalam hal ini, ia serupa dengan kebijakan yang dijalankan panutan politiknya ditingkat pusat, Bung Karno.
Alhasil, Sutedja tidak terlalu akrab dengan kekuatan mainstream di PNI. Hal ini dimanfaatkan oleh kubu Mantik yang berhasil menguasai jaringan internal PNI, terutama kalangan elite nya. Karena itu, PNI ‘mainstream’ di Bali mulai melakukan ‘perlawanan’ politik terhadap berbagai kebijakan Sutedja.
Konflik politik ini semakin ‘seru’ tatkala kompetisi antar berbagai kekuatan politik di tingkat pusat juga mewarnai dinamika politik di Bali. Polarisasi antara kekuatan ‘kiri’ yang terdiri dari kelompok Soekarnois (PNI Kiri) dan  Komunis (PKI) dengan kubu ‘kanan’ yang direpresentasikan militer (TNI-AD), PNI Konservatif, Islamis serta sos-dem juga ‘menular’ ke wilayah Bali. Setelah kehilangan dukungan dari kalangan elite PNI, Sutedja pun meraih dukungan politik dari PKI Bali yang anggotanya kebanyakan buruh tani dan warga Tionghoa. Konstituen PKI ini juga kebanyakan berasal dari  kasta waisya (pedagang) dan sudra (kaum miskin).
Sedangkan kubu Mantik didukung oleh PNI mainstream di Bali yang kebanyakan konservatif dan berasal dari kalangan ningrat atau ‘ksatria’ serta kaum Islam di Bali yang sebagian besar berafiliasi pada NU. Pasca Oktober 1965, kubu Mantik inilah yang bersinergi dengan militer (RPKAD) untuk mengorganisir milisi Tameng guna membunuhi para anggota dan simpatisan PKI di Bali.
Bara konflik tersebut benar-benar meledak setelah Jakarta diguncang tragedi Gestok yang menewaskan beberapa orang Jenderal TNI-AD. Bali pun turut diguncang pembantaian mengerikan dengan korban tewas  puluhan ribu orang yang dianggap anggota PKI. Soe Hok Gie memperkirakan korban yang tewas akibat pembantaian Bali tersebut  menurut prediksi yang paling konservatif saja sebanyak 80.000 jiwa (Bentang,  1995).
Situasi yang makin memanas itu berdampak pada keluarga Sutedja. Puri Agung Negara di Jembrana milik keluarga besar Sutedja  tak luput dari amuk massa ‘anti-komunis’. Sutedja dan keluarganya digolongkan sebagai pendukung PKI, padahal realitasnya Sutedja adalah seorang Soekarnois dan  tak pernah menjadi anggota PKI. Meskipun  memang salah satu anggota keluarga besar Sutedja ada yang menjadi pengurus PKI Bali.
Amuk massa yang berbuah perusakan dan pembakaran  di Puri Agung Negara menimbulkan luka mendalam dalam jiwa tiap anggota keluarga Sutedja. Betapa tidak,  aksi massa itu juga menewaskan belasan anggota keluarga Puri Agung Jembrana. Akibatnya, Bung Karno memerintahkan Sutedja sekeluarga untuk hijrah sementara ke Jakarta di bulan Desember 1965.
Korban Penculikan Politik
Sutedja dan keluarga akhirnya tinggal di kawasan Senayan Jakarta guna menghindari amuk massa di Bali. Namun, seiring dengan kekuasaan  Bung Karno yang kian dikebiri oleh kelompok Soeharto, makin terancam jugalah keselamatan Sutedja di Jakarta. Tanggal 29 Juli 1966, Sutedja ‘dijemput’ oleh beberapa orang berseragam militer dari markas Staf Komando Garnisun (SKOGAR) dan diperintahkan datang  ke markas SKOGAR. Sutedja pun  memenuhi panggilan ini.
Namun, tak pernah ada kabar lagi dari Sutedja pada pihak keluarga semenjak kepergian Sutedja di hari itu. Keluarga pun mendatangi markas SKOGAR untuk mencari tahu nasib Sutedja. Jawaban pihak SKOGAR cukup mengejutkan : tak pernah ada perintah penjemputan atau pemanggilan terhadap Sutedja.
Pencarian keluarga  tidak berhenti hingga disitu. Tetapi, situasi politik yang kian memarjinalkan kelompok Soekarnois sudah  tidak kondusif lagi  bagi  upaya keluarga Sutedja untuk mencari jawaban atas nasib sang putra Jembrana tersebut. Sejak saat itu hingga puluhan tahun kemudian,  nasib Sutedja tetap diliputi ketidakjelasan.
Hilangnya Sutedja menimbulkan beragam spekulasi. Ada  beberapa pihak menyatakan, Sutedja tewas akibat penculikan politik. Disisi lain, ada juga  sebagian pihak yang mengatakan  bahwa Sutedja  pergi ke luar negeri  pasca kejatuhan Bung Karno. Namun, keberadaan Sutedja tidak pernah terlacak di negara manapun seperti halnya kaum exile lainnya dari Indonesia yang menjadi pelarian politik setelah Soeharto berkuasa. Sehingga, kebanyakan pihak meyakini hipotesis pertama lah yang terjadi pada diri Sutedja. Pihak keluarga  sendiri  meyakini bahwa Sutedja telah wafat dengan mengadakan prosesi adat ‘pelepon’ untuk ‘mengantar’  arwah  Sutedja menuju alam kebadian di tahun 2006.
Tragedi yang menimpa Sutedja merupakan cerminan dari kebiadaban politik rezim Orde Baru yang masih belum terungkap jelas hingga kini, seiring dengan masih ‘kabur’ nya kasus  pembantaian  dan pengebirian hak sipil ribuan bahkan jutaan simpatisan kiri di awal berdirinya Orde Baru. ‘Raib’ nya Sutedja juga menjadi bukti bahwasanya metode penculikan politik yang marak dilakukan di akhir era Orde Baru tahun 1997/98 ternyata telah dilakukan dengan  ‘sempurna’ bahkan sebelum Soeharto secara de-jure disahkan sebagai Presiden.  Sutedja  dan ribuan warga Bali lainnya juga  menjadi ‘tumbal’ ekspansi modal internasional yang masif  pasca berkuasanya Orde Baru dengan bertopengkan ‘pembangunan’ serta  ‘eksotisme  pariwisata’  di Bali.