Minggu, 02 Agustus 2015

warisan leluhur

Wayang Wong di Bumi Mekepung---
Warisan Leluhur tanpa Diketahui Asal-Muasalnya
 
Masyarakat Bali pasti tidak asing dengan wayang, juga wayang wong. Wayang wong adalah kesenian tradisional yang ditarikan oleh sekelompok orang dengan mempergunakan tapel (topeng). Lakon yang dimainkan berasal dari cerita Ramayana. Di Jembrana, wayang wong identik dengan Geria Penida, Batuagung. Kesenian ini ternyata sudah ada sejak zaman dulu. Namun sampai saat ini, tidak pernah ada yang tahu kapan dan siapa yang pertama kali memperkenalkan kesenian ini di Bumi Mekepung.
 
 
Ida Bagus Rimbawan, salah seorang seniman wayang wong, mengaku sejak dirinya lahir ke bumi, wayang wong sudah ada. ''Saya pernah tanya ke kompiang (ayah kakek) saya. Ternyata beliau juga tidak tahu tahun berapa wayang wong ini mulai ada. Tapel-tapel yang ada di gedog (kotak penyimpanan) pun tidak diketahui kapan dibuat. Kami ini napet suba ada (mewarisi). Kalau dirunut dari cerita yang ada, sudah tujuh turunan yang melakoni kesenian wayang wong ini,'' tuturnya.
Peneliti Universitas Udayana juga pernah datang untuk melakukan penelitian usia tapel wayang wong ini. Namun hingga kini belum ada jawaban, kapan tapel itu mulai dibuat. Artinya, sejarah pembuatan tapel dan asal-muasal wayang wong ini memang belum teridentifikasi. Untungnya hal ini tidak membuat kesenian ini jalan di tempat.
Sebanyak 50 tapel kini tersimpan rapi dalam gedog. Kapan akan pentas, saat itulah gedog dibuka. Tapel-tapel dibagi menjadi dua ruang (kelompok). Kelompok dharma dan kelompok adharma. Kelompok dharma terdiri atas tapel Rama, Anoman, Laksamana dan tokoh baik lainnya. Kelompok adharma terdiri atas tapel Rahwana dan sekutu-sekutunya.
Semua tapel yang ada ini masih dalam kondisi bagus. Rimbawan yang biasanya memainkan lakon Anoman pun tidak mengerti bahan pembuat tapel. Dari dia tahu adanya tapel hingga saat ini, belum pernah ada kerusakan. Kayu bahan tapel ini juga tak pernah diserang ngengat atau apa pun penyerang kayu. Paling banter, tapel hanya dicat untuk membuat warna tidak pudar. Campuran catnya pun tidak sembarangan. Perlu ramuan khusus.
Rimbawan menambahkan, dari cerita yang didapat dari para pendahulunya, tapel wayang wong juga pernah dijadikan sarana peneduh (mencegah kekeringan). Caranya, salah satu tapel, biasanya tapel Anoman, dipinjam subak. Tapel kemudian direndam di tibu (sungai yang dalam) hingga berbulan-bulan. Air sungai pun tidak akan pernah kering dan subak bisa terus melakukan pengairan. Ajaibnya, walaupun direndam berbulan-bulan, tapel tidak rusak sama sekali.
Namun, kini hal tersebut tidak dilakukan lagi. Alasan yang mendasar adalah kekhawatiran akan hilangnya tapel. Kalau satu tapel hilang, tentu bisa menimbulkan ekses.
Jika tapel tidak pernah berubah dari dulu hingga sekarang, tidak demikian dengan busana wayang wong. Busana untuk penari wayang wong sering mengalami perubahan, apalagi jika ada yang rusak. Hanya, ada bagian tertentu yang bahannya tidak pernah berubah. Salah satunya adalah busana dari kain rembang. Turun-temurun busana berbahan rembang selalu digunakan. Sekarang ini, busana wayang wong sudah banyak ditambah variasi. 
Pelengkap Dewa dan Pitra Yadnya 
Wayang wong selain memiliki nilai magis, kesenian ini juga sering dilibatkan dalam kegiatan keagamaan, seperti dewa yadnya dan pitra yadnya. Menurut Rimbawan, di beberapa daerah di Negara dan Mendoyo, wayang wong selalu diikutsertakan dalam upacara Ngebejian. ''Penari wayang wong berada di barisan depan jika ada yang Ngebejian. Ini sudah menjadi pedoman. Apalagi wayang wong memiliki kaitan erat dengan kisah Ramayana. Selain ikut prosesi Ngebejian, wayang wong juga bisa tampil untuk memainkan lakon satu babak. Kalau berkaitan dengan yadnya, biasanya kami memainkan lakon Ngerereh Daging Suci,'' ujar pria yang juga Sekretaris Sekaa Wayang Wong Dharma Putra Sentana, Batuagung ini.
Untuk tampil di kegiatan ritual seperti ini, hanya 20 atau 30 personel sekaa yang dilibatkan. Sekaa ini sebenarnya memiliki 50 anggota dan diketuai oleh Ida Bagus Putra. Kalau tampil di Pesta Kesenian Bali (PKB), sekaa ini tampil full team alias kolosal. Sementara untuk tampil di kegiatan yadnya, sekaa hanya memerlukan pemantapan sekitar H-3, tetapi jika di PKB, mereka perlu latihan beberapa bulan.
Wayang wong yang rutin tampil di PKB biasanya mendapat pesanan untuk membawakan lakon Ramayana. Hanya temanya berubah-ubah dari waktu ke waktu. Inilah yang memerlukan latihan intensif, selain untuk memantapkan cerita juga untuk memadukan tarian.
Saat tampil di PKB inilah, perhatian Pemprop Bali dan Pemkab Jembrana terlihat. Bantuan untuk transportasi dan uang saku pemain biasanya dikeluarkan pemerintah. Tak jarang uang yang diperoleh juga dipergunakan untuk melakukan perawatan tapel dan busana. Tetapi, bagi sekaa wayang wong ini uang bukanlah hal utama yang dikejar oleh sekaa, ada kepuasan batin yang mereka dapatkan dengan menarikan wayang wong.
Jika tampil di PKB, sekaa biasanya mendapatkan uang saku sekitar Rp 50 ribu. Tetapi jika tampil di kegiatan dewa yadnya atau pitra yadnya, mereka mendapat bayaran sekitar Rp 300 ribu. Kadangkala bisa lebih dari itu, jika si empunya karya minta sekaa untuk masolah. Namun, anggota sekaa lebih mengutamakan yadnya daripada menerima uang yang kadang hanya Rp 10 ribu per orang. Tak hanya itu, anggota sekaa tidak pernah ada yang menolak ketika ada permintaan menari. Pimpinan sekaa bisa bingung karena pemain lebih banyak dibanding lakon yang dimainkan. Solusinya, semua pemain diajak dan ikut dalam prosesi Ngebejian, tetapi saat masolah, tidak semuanya kebagian peran untuk unjuk kebolehan. Ternyata ini solusi yang dapat diterima, dan tidak mengurangi semangat para anggota sekaa.
Rimbawan menuturkan, pengalaman yang sering terjadi adalah ketika ada pemain yang sakit, kemudian ada permintaan masolah, serta merta si penari akan sembuh. Ini pula yang meyakini penari, ada kekuatan di luar nalar manusia yang bisa membimbing mereka untuk tampil dan ngayah. 
Generasi Muda 
Sekaa wayang wong yang ada di Batuagung juga tidak merasa khawatir soal transformasi ilmu dan kader. Secara otomatis penari yang sudah berusia lanjut akan mewariskan ilmunya kepada generasi penerusnya. Banyak anak muda di Batuagung yang terjun menjadi penari wayang wong. Lakon pun makin variatif. Saat ini banyak lakon yang dimainkan anak-anak muda. Hanya beberapa lakon tertentu saja yang masih ditarikan oleh penari senior.
Rimbawan menyebut lakon Rahwana, Sugriwa dan Tualen yang masih dimainkan oleh tokoh-tokoh senior. Untuk memainkan tokoh-tokoh dalam lakon wayang wong juga tidak sembarang pilih. Contohnya, untuk memerankan raksasa, diperlukan pragina yang berperawakan besar. Pasalnya, topeng-topeng raksasa berukuran besar. Ini juga menimbulkan penafsiran, wajah dan postur orang zaman dulu besar-besar.
Ke depan, para seniman wayang wong ini yakin, kesenian tradisional ini masih eksis. Regenerasi yang sudah terjadi membuat keyakinan ini menjadi realitas. Di Jembrana, selain di Batuagung, ada juga sekaa wayang wong yakni di Perancak. Kedua sekaa ini memiliki kemiripan tari dan tabuh. Tabuh yang digunakan adalah bebatelan Ramayana.
Satu keunikan dari wayang wong ini adalah tidak masuknya pengaruh pakem-pakem tari modern. Artinya, wayang wong masih mempergunakan pakem tari tradisional. Hal ini terlihat jika penari nayog, nyeregseg dan nyamir. Kalau tarian yang lahir di zaman modern, penari yang memerankan raksasa biasanya tangannya agak direntangkan. Dalam pakem wayang wong, hal itu tidak ada. Penari raksasa tidak begitu merentangkan tangan. Ada kemungkinan dari tapel dan pakaian yang dikenakan sudah mencerminkan karakter raksasa. Demikian pula dengan peran wanara (monyet). Gaya jalan dari para wanara mirip cara jalan monyet. Pakem-pakem inilah yang hingga saat ini masih dipertahankan sekaa wayang wong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar