Warisan Leluhur tanpa Diketahui Asal-Muasalnya
Ida Bagus Rimbawan, salah seorang seniman wayang wong,
mengaku sejak dirinya lahir ke bumi, wayang wong sudah
ada. ''Saya pernah tanya ke kompiang (ayah kakek) saya.
Ternyata beliau juga tidak tahu tahun berapa wayang wong
ini mulai ada. Tapel-tapel yang ada di gedog (kotak
penyimpanan) pun tidak diketahui kapan dibuat. Kami ini
napet suba ada (mewarisi). Kalau dirunut dari cerita
yang ada, sudah tujuh turunan yang melakoni kesenian
wayang wong ini,'' tuturnya.
Peneliti Universitas Udayana juga pernah datang untuk
melakukan penelitian usia tapel wayang wong ini. Namun
hingga kini belum ada jawaban, kapan tapel itu mulai
dibuat. Artinya, sejarah pembuatan tapel dan asal-muasal
wayang wong ini memang belum teridentifikasi. Untungnya
hal ini tidak membuat kesenian ini jalan di tempat.
Sebanyak 50 tapel kini tersimpan rapi dalam gedog. Kapan
akan pentas, saat itulah gedog dibuka. Tapel-tapel
dibagi menjadi dua ruang (kelompok). Kelompok dharma dan
kelompok adharma. Kelompok dharma terdiri atas tapel
Rama, Anoman, Laksamana dan tokoh baik lainnya. Kelompok
adharma terdiri atas tapel Rahwana dan sekutu-sekutunya.
Semua tapel yang ada ini masih dalam kondisi bagus.
Rimbawan yang biasanya memainkan lakon Anoman pun tidak
mengerti bahan pembuat tapel. Dari dia tahu adanya tapel
hingga saat ini, belum pernah ada kerusakan. Kayu bahan
tapel ini juga tak pernah diserang ngengat atau apa pun
penyerang kayu. Paling banter, tapel hanya dicat untuk
membuat warna tidak pudar. Campuran catnya pun tidak
sembarangan. Perlu ramuan khusus.
Rimbawan menambahkan, dari cerita yang didapat dari para
pendahulunya, tapel wayang wong juga pernah dijadikan
sarana peneduh (mencegah kekeringan). Caranya, salah
satu tapel, biasanya tapel Anoman, dipinjam subak. Tapel
kemudian direndam di tibu (sungai yang dalam) hingga
berbulan-bulan. Air sungai pun tidak akan pernah kering
dan subak bisa terus melakukan pengairan. Ajaibnya,
walaupun direndam berbulan-bulan, tapel tidak rusak sama
sekali.
Namun, kini hal tersebut tidak dilakukan lagi. Alasan
yang mendasar adalah kekhawatiran akan hilangnya tapel.
Kalau satu tapel hilang, tentu bisa menimbulkan ekses.
Jika tapel tidak pernah berubah dari dulu hingga
sekarang, tidak demikian dengan busana wayang wong.
Busana untuk penari wayang wong sering mengalami
perubahan, apalagi jika ada yang rusak. Hanya, ada
bagian tertentu yang bahannya tidak pernah berubah.
Salah satunya adalah busana dari kain rembang.
Turun-temurun busana berbahan rembang selalu digunakan.
Sekarang ini, busana wayang wong sudah banyak ditambah
variasi.
Pelengkap Dewa dan Pitra Yadnya
Wayang wong selain memiliki nilai magis, kesenian ini
juga sering dilibatkan dalam kegiatan keagamaan, seperti
dewa yadnya dan pitra yadnya. Menurut Rimbawan, di
beberapa daerah di Negara dan Mendoyo, wayang wong
selalu diikutsertakan dalam upacara Ngebejian. ''Penari
wayang wong berada di barisan depan jika ada yang
Ngebejian. Ini sudah menjadi pedoman. Apalagi wayang
wong memiliki kaitan erat dengan kisah Ramayana. Selain
ikut prosesi Ngebejian, wayang wong juga bisa tampil
untuk memainkan lakon satu babak. Kalau berkaitan dengan
yadnya, biasanya kami memainkan lakon Ngerereh Daging
Suci,'' ujar pria yang juga Sekretaris Sekaa Wayang Wong
Dharma Putra Sentana, Batuagung ini.
Untuk tampil di kegiatan ritual seperti ini, hanya 20
atau 30 personel sekaa yang dilibatkan. Sekaa ini
sebenarnya memiliki 50 anggota dan diketuai oleh Ida
Bagus Putra. Kalau tampil di Pesta Kesenian Bali (PKB),
sekaa ini tampil full team alias kolosal. Sementara
untuk tampil di kegiatan yadnya, sekaa hanya memerlukan
pemantapan sekitar H-3, tetapi jika di PKB, mereka perlu
latihan beberapa bulan.
Wayang wong yang rutin tampil di PKB biasanya mendapat
pesanan untuk membawakan lakon Ramayana. Hanya temanya
berubah-ubah dari waktu ke waktu. Inilah yang memerlukan
latihan intensif, selain untuk memantapkan cerita juga
untuk memadukan tarian.
Saat tampil di PKB inilah, perhatian Pemprop Bali dan
Pemkab Jembrana terlihat. Bantuan untuk transportasi dan
uang saku pemain biasanya dikeluarkan pemerintah. Tak
jarang uang yang diperoleh juga dipergunakan untuk
melakukan perawatan tapel dan busana. Tetapi, bagi sekaa
wayang wong ini uang bukanlah hal utama yang dikejar
oleh sekaa, ada kepuasan batin yang mereka dapatkan
dengan menarikan wayang wong.
Jika tampil di PKB, sekaa biasanya mendapatkan uang saku
sekitar Rp 50 ribu. Tetapi jika tampil di kegiatan dewa
yadnya atau pitra yadnya, mereka mendapat bayaran
sekitar Rp 300 ribu. Kadangkala bisa lebih dari itu,
jika si empunya karya minta sekaa untuk masolah. Namun,
anggota sekaa lebih mengutamakan yadnya daripada
menerima uang yang kadang hanya Rp 10 ribu per orang.
Tak hanya itu, anggota sekaa tidak pernah ada yang
menolak ketika ada permintaan menari. Pimpinan sekaa
bisa bingung karena pemain lebih banyak dibanding lakon
yang dimainkan. Solusinya, semua pemain diajak dan ikut
dalam prosesi Ngebejian, tetapi saat masolah, tidak
semuanya kebagian peran untuk unjuk kebolehan. Ternyata
ini solusi yang dapat diterima, dan tidak mengurangi
semangat para anggota sekaa.
Rimbawan menuturkan, pengalaman yang sering terjadi
adalah ketika ada pemain yang sakit, kemudian ada
permintaan masolah, serta merta si penari akan sembuh.
Ini pula yang meyakini penari, ada kekuatan di luar
nalar manusia yang bisa membimbing mereka untuk tampil
dan ngayah.
Generasi Muda
Sekaa wayang wong yang ada di Batuagung juga tidak
merasa khawatir soal transformasi ilmu dan kader. Secara
otomatis penari yang sudah berusia lanjut akan
mewariskan ilmunya kepada generasi penerusnya. Banyak
anak muda di Batuagung yang terjun menjadi penari wayang
wong. Lakon pun makin variatif. Saat ini banyak lakon
yang dimainkan anak-anak muda. Hanya beberapa lakon
tertentu saja yang masih ditarikan oleh penari senior.
Rimbawan menyebut lakon Rahwana, Sugriwa dan Tualen yang
masih dimainkan oleh tokoh-tokoh senior. Untuk memainkan
tokoh-tokoh dalam lakon wayang wong juga tidak sembarang
pilih. Contohnya, untuk memerankan raksasa, diperlukan
pragina yang berperawakan besar. Pasalnya, topeng-topeng
raksasa berukuran besar. Ini juga menimbulkan penafsiran,
wajah dan postur orang zaman dulu besar-besar.
Ke depan, para seniman wayang wong ini yakin, kesenian
tradisional ini masih eksis. Regenerasi yang sudah
terjadi membuat keyakinan ini menjadi realitas. Di
Jembrana, selain di Batuagung, ada juga sekaa wayang
wong yakni di Perancak. Kedua sekaa ini memiliki
kemiripan tari dan tabuh. Tabuh yang digunakan adalah
bebatelan Ramayana.
Satu keunikan dari wayang wong ini adalah tidak masuknya
pengaruh pakem-pakem tari modern. Artinya, wayang wong
masih mempergunakan pakem tari tradisional. Hal ini
terlihat jika penari nayog, nyeregseg dan nyamir. Kalau
tarian yang lahir di zaman modern, penari yang
memerankan raksasa biasanya tangannya agak direntangkan.
Dalam pakem wayang wong, hal itu tidak ada. Penari
raksasa tidak begitu merentangkan tangan. Ada
kemungkinan dari tapel dan pakaian yang dikenakan sudah
mencerminkan karakter raksasa. Demikian pula dengan
peran wanara (monyet). Gaya jalan dari para wanara mirip
cara jalan monyet. Pakem-pakem inilah yang hingga saat
ini masih dipertahankan sekaa wayang wong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar